Teori Agenda Setting
Latar Belakang Teori
Gagasan pemikiran agenda-setting sesungguhnya sudah mulai muncul pada awal tahun 1920-an melalui pemikiran Walter Lippmann (1922) dalam tulisannya yang berjudul “The World Outside and the Pictures in Our Heads.” Dalam pembuka bab yang berjudul Public Opinion, Lippman sudah menyiratkan ide agenda-setting meski ia tidak menyebutnya dengan istilah yang sama. Tesisnya adalah bahwa media berita, yang menjadi jendela kita ke dunia luas di luar pengalaman kita secara langsung, telah menentukan peta kognitif kita tentang dunia tersebut. Sehingga menurutnya, opini public bukanlah respon terhadap lingkungan melainkan repon terhadap lingkungan semu yang dikontruksi oleh media.
Pemikiran Lippman tersebut kemudian mendapat dukungan dari McCombs & Shaw (1972) yang menyatakan bahwa informasi yang diberikan oleh media berita memainkan peranan yang penting dalan mmengkontruksi gambaran seseorang tentang realitas. Hipotesis sentralnya adalah bahwa media massa telah menyusun agenda (umumnya berkaitan dengan isu kampanye politik) dengan memberikan penonjolan pada isu-isu tertentu. Isu-Isu tersebut kemudian diberi penekanan oleh media sehingga akan dianggap sebagai sesuatu yang penting oleh anggota public. Dengan kata lain, isu yang dianggap penting oleh media juga akan dianggap penting oleh public. Inilah yang disebut sebagai pengaruh agenda-setting.
Asumsi dan Konsep Agenda Setting
Terdapat 2 asumsi mendasar mengenai pendekatan agenda setting media:
1. Masyarakat pers dan media massa tidak mencerminkan kenyataan; mereka menyaring dan membentuk isu
2. Konsentrasi media massa hanya pada beberapa masalah masyarakat untuk ditayangkan sebagai isu-isu yang lebih penting dari pada isu-isu lain
Masyarakat pers dan media massa tidak mencerminkan kenyataan, mereka menyaring dan membentuk isu. Fakta yang diterima masyarakat berasal dari pengolahan data dan informasi yang ada di ruang redaksi suatu media. Tentunya setiap media memiliki agenda yang berbeda-beda guna menjadi ciri khas dan meningkatkan daya jual kepada konsumen media. Berita tidak bisa memilih dirinya sendiri menjadi berita, adalah peranan gatekeeper untuk menyaring topik-topik teraktual untuk disajikan di media massanya. Gatekeeper bisa dilakoni oleh pemimpin redaksi dan editor media massa. Dengan kata lain, semua fakta yang diterima oleh khalayak ialah kenyataan yang dibuat oleh media, kenyataan tangan kedua (second-hand reality).
Cohen membuat pengamatan mengenai fenomena media ini, “the world will look different to different people depending on the map that is drawn for them by writers, editors and publishers of the paper they read.” [Dunia terlihat berbeda bagi orang yang berbeda tergantung pada peta yang digambarkan bagi mereka oleh para penulis, editor dan penerbit media yang mereka baca].
Dalam studi McCombs dan Shaw terdapat dua variabel utama yang menjadi fokus mereka, yakni agenda media (sebagai variabel independen) dan agenda publik (sebagai variabel dependen). Analisis hubungan antar variabel yang dilakukan biasanya menekankan pada pola hubungan satu arah atau bersifat linear, yaitu bahwa agenda media memengaruhi terbentuknya agenda publik. Ini merupakan bukti bahwa kebanyakan peneliti pada saat itu masih percaya bahwa efek media bersifat langsung, sehingga studi mereka lebih banyak berorientasi pada upaya pengukuran besarnya efek media. Kelemahan teori ini terletak pada sudut pandangnya yang menganggap khalayak pasif.
Konsentrasi media massa dalam menayangkan beberapa isu dan subjek dianggap khalayak sebagai isu-isu yang lebih penting dibanding isu-isu lain. Agenda setting terjadi melalui sebuah proses kognitif yang dikenal sebagai “accessibility”, kemampuan mengakses yang mana mengimplikasikan semakin suatu isu terus-menerus disajikan oleh media massa, semakin isu tersebut dapat merasuk dan melekat di dalam ingatan khalayak.
Media mampu memengaruhi tentang apa saja yang perlu kita pikirkan. Lebih dari itu, kini media massa juga dipercaya mampu memengaruhi bagaimana cara kita berpikir. Para ilmuwan menyebutnya sebagaiframing.
Willian F. Degeorge (1981) berpendapat bahwa kemampuan media memengaruhi perubahan kognitif dianggap berhasil dari proses selektif yang ditentukan oleh para gatekeeper, setelah menentukan kejadian mana yang banyak diberitakan atau tidak. Kemudian para model analisis isi, Degeorge memberikan ulasan bahwa model agenda setting yang biasa digunakan untuk menggambarkan hubungan antara agenda media dengan agenda public, dengan memunculkan 3 model, yakni kesadaran (awareness), penonjolan (salience) dan prioritas (priorities). Media dapat dianalisis untuk menentukan hal-hal yang menonjol, terhadap isu-isu yang dimunculkan media massa.
McCombs dan Shaw kembali menegaskan tentang teori agenda setting bahwa “the media may not only tell us what to think about, they also may tell us how and what to think about it, and perhaps even what to do about it.” (McCombs, 1997).
Framing dan Priming Media
Dalam model tersebut, realita yang mengarah pada hubungan timbal balik antara agenda media dan agenda publik kurang mendapatkan perhatian. Seringkali terlupakan bahwa framing dan priming agenda media, dan tingkat kemenonjolan (salience) isu/kejadian pada agenda publik merupakan proses tidak berujung dan tidak berpangkal. Kurang perhatian terhadap ’proses’ baik dalam bentuk agenda media maupun agenda publik, menyebabkan studi agenda setting kurang mampu menjelaskan mengapa isu-isu tertentu, yang disiarkan oleh media tertentu mempunyai pengaruh tertentu, bagi audiens tertentu.
Framing adalah sebuah proses yang mana jurnalis, reporter, editor mengemas isu/kejadian menjadi sajian yang lebih menyentuh dan lebih menarik. Priming adalah sebuah metafora, yaitu kemampuan program pemberitaan untuk memengaruhi kriteria yang dapat digunakan oleh para individu untuk menilai penampilan pemimpin politik mereka.
Faktor-faktor yang memengaruhi ada tidaknya pengaruh agenda setting (pengaruh agenda media terhadap agenda publik) disebut faktor kondisional, yang dapat dapat dikategorikan menjadi 2 sebagai berikut:
1. Dari perspektif agenda media adalah sebagai berikut: framing; priming; frekuensi dan intensitas pemberitaan/penayangan; dan kredibilitas media di kalangan audiens.
2. Dari perspektif agenda publik adalah sebagai berikut: faktor perbedaan individual; faktor perbedaan media; faktor perbedaan isu; faktor perbedaan salience; faktor perbedaan kultural.
Perbedaan individual : pengaruh agenda setting akan meningkat pada diri individu yang memberikan perhatian lebih terhadap isu-isu yang disajikan oleh media massa. Bukti-bukti empirik menunjukkan bahwa perhatian individu terhadap isi media dipengaruhi oleh tingkat pendidikan, luas pengalaman, derajat kepentingan, perbedaan ciri demografis dan sosiologis.
Perbedaan media: setiap media memiliki porsi pengedepanan pemberitaan yang berbeda. Framingdan priming merupakan salah satu bukti akan hal ini. Tekanan dan porsi yang berbeda berpengaruh terhadap daya terima agenda media oleh khalayak. Media yang lebih diterima oleh khalayak berpotensi memberikan efek agenda setting yang lebih besar.
Perbedaan isu: topik pembahasan yang sedang berkembang dan hangat dibincangkan publik. Berdasarkan jenisnya, isu bisa dibedakan menjadi:
• Obstrusive issues adalah isu-isu yang berkaitan langsung dengan pengetahuan dan pengalaman individu atau khalayak. Artinya, bahwa pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki oleh khalayak tentang isu yang bersangkutan bukan berasal dari media, akan tetapi sudah dimiliki sebelumnya. Sebaliknya, unobstrusive issues adalah isu-isu yang tidak berkaitan langsung dengan pengetahuan/pengalaman audiens. Bukti empirik menunjukkan bahwa efek agenda setting lebih besar ditemukan pada individu-individu yang mempunyai keterlibatan langsung dengan isu yang disiarkan.
• Selective issues adalah sejumlah isu yang dipilih secara khusus, dengan alasan tertentu untuk kemudian diukur pengaruhnya pada khalayak tertentu. Pemilihan isu bisa dilakukan dengan melakukan analisa terhadap isi media massa, kemudian memilih sejumlah diantaranya yang dianggap lebih menonjol dibandingkan yang lain, atau bisa juga dengan cara mengambil topik-topik yang sedang menjadi pembicaraan hangat di kalangan masyarakat.
• Remote issues adalah isu-isu yang sama sekali di luar individu, kelompok, atau masyarakat, baik secara geografis, psikologis, maupun politis. Bukti-bukti yang dikumpulkan untuk mengevaluasi pengaruh agenda setting berkaitan dengan remote issues masih bersifat perdebatan. Artinya, beberapa temuan menyebutkan bahwa remote issues mempunyai efek agenda setting lebih besar. Akan tetapi, pada saat yang hampir bersamaan, temuan lain menyebutkan bahwa remote issues tidak memunyai efek sama sekali.
Perbedaan salience: yaitu pemilihan isu berdasarkan perbedaan nilai kepentingan, dilihat dari sisi khalayak. Masing-masing pilihan akan menimbulkan efek agenda setting yang berbeda.
Perbedaan kultural: setiap kelompok masyarakat akan menanggapi dan merespon isu yang sama secara berbeda, yang secara otomatis akan memengaruhi efek agenda setting yang ditimbulkan. Teori norma budaya yang dikembangkan de Fleur (dalam Haryanto, 2003) menyebutkan bahwa pesan-pesan komunikasi yang disampaikan oleh media massa bisa menimbulkan kesan-kesan tertentu, yang oleh individu disesuaikan dengan norma-norma budaya yang berlaku pada masyarakat dimana individu itu tinggal. Sekalipun dipercaya bahwa media mampu membentuk dan merubah norma baru sebagai acuan hidup bagi kelompok masyarakat tertentu, namun bukti-bukti yang ditemukan belum sepenuhnya mendukung hipotesa tersebut. Bukti-bukti empirik yang paling kuat adalah media massa lebih mudah memperkokoh sistem budaya yang sudah berakar dalam kehidupan masyarakat. Oleh karena itu, pengukuran efek agenda setting seharusnya mempertimbangkan dengan hati-hati sistem budaya yang dianut oleh individu, kelompok atau masyarakat.[1]
Efek Agenda Setting
Terdapat 3 efek agenda setting yang dikemukakan oleh Siune dan Borre:
1. Representasi : media merefleksikan agenda publik.
2. Persistence (keteguhan): pemeliharaan agenda yang sama oleh publik.
3. Persuasi: media melalui agenda setting berpotensi memengaruhi opini publik.
Singkatnya, cara kerja agenda setting ialah agenda media memengaruhi agenda publik, kemudian agenda publik memengaruhi agenda kebijakan. Hal-hal yang ditayangkan dan diberitakan media massa menjadi pengetahuan publik, sehingga luas diperbincangkan dan diperdebatkan dalam forum-forum publik (agenda publik). Agenda media memicu perhatian publik, kemudian dikembangkan. Isu-isu besar akan bertahan lama, isu-isu minor hanya akan timbul sesaat kemudian dilupakan. Beberapa media acapkali memanfaatkan efek ini guna menutupi isu-isu yang merugikan media tersebut atau penguasa media tersebut. Isu yang menonjol kemudian memicu opini publik, yakni sentimen kolektif dari sebuah populasi terhadap subjek tertentu. Dan spiral keheningan adalah respon dari pergeseran opini orang lain.
Aplikasi dan Kritik Terhadap Teori Agenda Setting
Model ini juga menyiratkan adanya berbagai efek yang mungkin muncul. Agenda setting dapat terjadi baik disengaja maupun tidak, ditentukan oleh media sendiri atau oleh pembuat kebijakan, atau bahkan dipengaruhi oleh public.
Rogers & Dearing (1987) juga memberikan sumber tambahan bagi munculnya ketidakpastian dari efek agenda-setting. Pertama, media memiliki kredibilitas yang berbeda-beda sehingga tidak semua media memiliki efek yang sama pada khalayak. Kedua, pesan media tidak selalu sama dengan pengalaman pribadi yang diperoleh dari lingkungannya. Ketiga, sejumlah orang mungkin memiliki nilai-nilai yang berbeda berkaitan berita peristiwa yang disebarkan media massa.
Terkait dengan kelemahan teori agenda-setting, Rogers & Dearing menyarankan agar di masa depan indokator “dunia nyata’ harus disusun dengan lebih tegas. Mereka juga menyatakan bahwa agenda-setiing garus dihubungkan dengan bidang-bidang lain dalam teori dan penelirian media.
Dengan mengamati efek agenda-setting di seluruh dunia, maka fenomena komunikasi massa dapat dilihat dari berbagai perspektif. Perspektif itu sendiri dapat dikategorisasi menjadi empat bagian tipologi yang disebut sebagai tipologi Acapulco.
Teori agenda-setting sangat berkaitan dengan konsep framing. Keduanya sama-sama memfokuskan perhatiannya pada perspektif yang digunakan oleh komunikator dan khalayak untuk menggambarkan berbagai topic dalam berita sehari-hari. Cara media membingkai sebuah isu –memilih atribut apa yang akan dihadirkan kepada khalayak, baik sebagai ide sentral ataupun aspek dari topic—merupakan peran agenda-setting yang sangat kuat.
Sumber:
Morissan. Teori Komunikasi: Individu hingga Massa. Penerbit Prenada Media. 2015.
Morissan. Teori Komunikasi Massa. Penerbit Ghalia Indonesia, 2010
Komentar
Posting Komentar